Antara Kenangan Suka dan Duka Kini ( 9 )
"Tidak perlu sedih dan berkecil hati. jika ada orang
lain meremehkan kemampuanmu. Banyak orang sukses juga pernah
mengalaminya". Kata-kata itu seakan menjadi mukjizat dalam hidupku. Aku mendapatkannya
di tempat kumuh kawasan pasar buku loak di kawasan Shopping Center.
Aku sudah lupa dari buku yang mana. Yang aku ingat, warna
bukunya sudah kecoklatan. Sudah jauh dari warna aslinya yang putih. Mungkin
karena sudah kumal, buku itu berubah menjadi kekuningan hingga kecoklatan
Kalau tidak salah buku motivator. Karena buku itu memuat kisah-kisah
orang sukses.
Penggalan kalimat itu dulu memberikan energi yang luar biasa.
Kadang membuat ku menjadi pemberani. Tidak jarang pula membuatku menjadi orang
yang optimis. Bahkan menjadi super optimis.
Mungkin karena menjadi orang yang super optimis, di lingkungan
keluarga aku sering dijuluki pengkhayal. Pengkhayal tingkat tinggi. Betapa
tidak. Aku sering berkhayal menjadi orang kaya.
Orang kaya seperti apa? Dalam khayalanku dulu, orang kaya itu
kalau sudah bisa sarapan pagi di Perancis, makan Siang di Spanyol dan makan
malam di Inggris. Atau makan Malam di Jakarta, makan pagi di Singapura dan
makan malam di Hongkong.
Bahkan, pada saat tertentu jika aku berantem dengan Bulik atau
Bude ku tentang masalah keuangan, aku selalu melawan dengan
kata-kata,"Sesuk nek aku wis gede tak saur." Tak jarang, kata-kataku
ini menyinggung perasaan mereka. Kalau mengingatnya aku terkadang
menyesal. Kenapa saya dulu bisa begitu.
Kala itu tak terbayangkan aku bisa mewujudkan semua khayalan
itu. Betapa tidak, sehari-hari untuk memenuhi kebutuhanku aku harus jualan es.
Setiap pagi aku harus menjanjakan termos ke warung-warung.
Setidaknya setahun aku berjualan es. Dalam setahun aku bisa
mengumpulkan uang. Meski tidak banyak. Seingatku, menjelang April aku membuka
tabungan, terkumpul sekitar Rp.192.800. Jumlah yang sangat lumayan banyak untuk
ukuran tahun itu.
Karena dengan uang itu, aku sudah bisa membeli sebuah sepeda motor.
Namun, aku tidak membeli sepeda motor. Aku membelikan bibit ayam. Pilihan
jatuh pada ayam potong.
Masih ingat aku membeli kuthuk ayam potong yang masih berusia
tiga hari di sebuah peternakan di kawasan Bantul. Lokasi tepatnya aku tidak
berhasil mengingatnya kembali.
Aku membeli lima puluh ekor kuthuk. Kalau tidak salah ingat,
harganya Rp 75 ribu. Sisa uangnya tak belikan pakan ayam dan obat-obatan.
Jujur, aku benar-benar belum memiliki pengalaman apa pun dalam hal piara ayam
seperti itu.
Aku hanya tahu dari buku-buku yang aku baca di shopping center.
Dari buku itu, hanya tahu piara ayam potong itu cuma 90 hari. Terus dijual,
atau dipotong. Cara jualnya pakai ditimbang dengan kiloan.
Tentu aku harus menyiapkan kandangnya. Aku harus menyiapkan
semuanya. Beruntung, pergaulanku di pasar shoping banyak memberikan aku banyak
teman. Termasuk para pedagang ayam potong.
Dari mereka aku banyak belajar. Terutama dengan pak Mul. Dia
pedagang ayam asal Godean. Meski dia tidak beternak ayam, dia tahu banyak seluk
beluk beternak ayam potong . Mungkin, karena dia pedagang ayam, jadi tahu
banyak cara piaranya.
Dari Pak Mul aku banyak diajari, mulai tempat membeli pakan,
memberikan vaksin dan menjualnya ketika sudah musim potong. Awalnya memang
tidak sederhana.
Karena banyak sekali yang harus dipersiapkan. Mulai dari
kandangnya, yang harus dijaga kehangatannya. Harus ada listriknya, bukan saja
berfungsi sebagai penerangan. Tetapi juga berfungsi menghangatkan.
Namun, setelah dipelajari dan dipraktekkan tidak ada yang sulit.
Tiga bulan berikutnya aku bisa memanennya. Dari lima puluh ekor kuthuk yang aku
beli, aku masih bisa memanennya sebanyak 44 ekor. Enam ekor lainnya mati.
Lumayan. Dari jumlah itu, aku menjualnya hanya 33 ekor. Sisanya
disembelih sendiri. Juga dibagi-bagikan ke saudara. Senang rasanya. Karena dari
penjualan ayam itu aku masih bisa mendapatkan Rp 268 ribu.
Dari hasil penjualan itu, aku membelikan bibit ayam lagi. Saat
itu, tidak lagi 50 ekor. Tetapi aku membeli 100 ekor. Hingga kemudian aku
bisa piara ayam potong 300 ekor.
Sebelum akhirnya, dari ayam potong beralih ke Ayam petelur.
Kelas dua SMP aku beralih ternak ayam petelur. Tentu saja modalnya
diambil dari hasil jualan ayam potong.
Untuk beternak ayam telur aku belajar dari tetanggaku yang
sangat baik. Dia adalah Pak Muji. Dia dulu seorang penjahit. Namun, selain
menjahit dia juga menekuni ternak ayam petelur.
Kebetulan pak Muji memiliki sejumlah anak lelaki, yang
membantunya membuat kandang dan sebagainya. Dari mereka pula aku banyak belajar
bagaimana membesarkan ayam hingga mampu bertelur.
Begitulah kesibukan ku waktu SMP. Sepanjang SMP aku bisa
memiliki sekitar lima ratus ekor ayam petelur. Setiap hari aku berkutat dengan
ayam. Pagi aku memberikan pakan ayam. Siang pulang sekolah, juga begitu.
Mulai bersih-bersih kandang, ngurusi pakan sampai pada menjual
telur. Dan akhirnya banyak pedagan yang datang untuk mengambil telur, hingga
ada pemasok pakan. Sehingga tidak terlalu sulit untuk melakukan semuanya.
Dari Ayam, kemudian merambah ke burung puyuh. Bahkan, untuk
burung puyuh aku bisa menetaskan sendiri. Membuat mesin penetas sendiri. Hingga
akhir SMA aku hidup dari peternakan.
Dan peternakan itu pula yang sedikitnya banyak memberikan aku
bisa mengembangkan banyak inspirasi. Karena, dari peternakan itu pula aku bisa
membeli buku apa saja.
Bahkan, dari peternakan itu pula aku bisa bergaya. Bisa naik
motor, meski hanya motor sederhana Bisa bayar kursus bahasa Inggris, meski
sampai sekarang bahasa inggris ku juga tak kunjung baik.
Singkat kata, aku banyak membekali diri dari hasil peternakan
itu. Namun, karena aku tidak bercita-cita menjadi peternak, bisnis yang
sebenarnya sudah sangat menguntungkan itu aku tinggalkan.
Selepas SMA aku tinggalkan semua itu. Ada obsesi lain yang terus
mendorongku untuk mewujudkannya. Obsesi panjang, antara mimpi dan hayalan.
Antara angan-angan dan kenyataan. Antara pilihan dan keharusan. ( bersambung )
Hm, keren banget AuRy
BalasHapusJujur saya suka baca tulisanmu.
Pengalamanmu sangat banyak...karena kamu ditempa
hidup yang berawal berat.
Sekarang baru memetik buahnya...dan menjadi " The Beautiful of Story "
Sukses ya Aury...
btw , boleh dong minta kenang-kenangan buku hasil karyamu.
BalasHapusMakasih AuRy . God Bless You
Waow.....mas bos edyan tenan tulisane jan top ...
BalasHapusAlure thirik thirik...wis lulus tenan yen dadi kuli tinta.....menginspirasi banget waktu cilike. Hmmmm
finishing well kui jenenge
BalasHapusTernyata Auri yang dulu anteng, banyak menyimpan kekuatan dan semangat...
BalasHapusRajin pangkal kAya,anteng pangkal ganteng maksimal
Hapus