Minggu, 09 Oktober 2016

Life Sharing, Life Changing (Tari)


“ Harum gadis di pagi hari, senyum manis menawan hati”
Hai teman-teman ingat nggak ya sama aku  : Th.Lestari Handayani.

Dulu kalian suka menjulukki aku  “ Lestari”  si rambut panjang  berkepang.

Ngomong-ngomong tentang masa lalu di SMP Con Cat -1 , membuat imajinasiku melayang kembali. Ngobrol dikit yuuk.... kisah kasih di sekolah dulu.


Masa-masa itu adalah memori  indah yang kini hadir menemani  di setiap waktuku. Semangat itu hadir di setiap langkahku dan senyum...senyum...senyum menebar dari bibirku. Oya teman , kala itu aku selalu berada di kelas A selama tiga tahun, namun begitu kalian semua adalah teman – temanku bagian dari sejarah hidupku.  

            Dulu seringkali kami berangkat bertiga, Handoyo dan Heri menjemputku  menuju sekolah. “ Heri, kamu bonceng aku saja “, iyo Lest katanya. “ Bonceng Si Ped  kakiku pegel , berdiri terus “, kata Heri kemudian.  Sampai di sekolah kulihat  aneka wajah teman-teman, ada yang masih ngantuk, ada yang tenang saja seperti Lakso, ada juga yang penuh semangat seperti Elisabeth, ada yang lucu seperti Sukidi, ehh, itu ada yang tebar pesona , rambutnya dijabrik ke atas kalau jalan semua badan bergoyang , oh itu dia si Nano.

            Theng....theng.... theng  dan semua masuk kelas. Ibu Asturia mengawali pelajaran Bahasa Inggris dengan ulangan. “ Lestari , kamu mengerjakan di buku ibu ya “, kata beliau sambil menyerahkan buku tulis yang disampul kertas payung warna coklat. “ Iya bu, jawabku”. Aku mengawali ulanganku di halaman pertama buku itu. “ Semoga aku mendapat nilai yang baik karena mengerjakan di buku bu guru yang akan selalu diingatnya, begitu kata hatiku “.  Waktu mengerjakan ulangan telah usai , lembar ulangan saling ditukarkan untuk dikoreksi bersama kecuali milikku. Ibu yang baik dan lembut ini membahas setiap nomor soal dengan sabar sampai selesai .   “Nah anak-anak , sekarang kumpulkan semua nanti ibu sendiri yang menilai” , kata Ibu Asturia.  Suasana sedikit seru karena teman-teman penasaran dengan hasil ulangannya. “ Bu, pekerjaan saya bagaimana ? kataku “.  “ Lestari , pekerjaanmu betul semua , dapat nilai 10 “. “ Asyiiik , spontanku muncul karena senang “.

            Hari demi hari berlalu diliputi keceriaan masa remaja. Canda tawa , pergi ke kantin bersama, mengerjakan tugas bersama dan masih banyak lagi yang dilakukan bersama-sama.

Suasana itu membuat kerasan dan menikmati masa masa sekolah. Banyak perubahan terjadi kala sudah menginjak kelas tiga, bukan saja secara fisik tapi juga mental dan hati.  Di antara teman-teman mulai saling menyukai , memberi perhatian lebih dan khusus pada seseorang. Demikian juga yang kualami, sebelumnya aku merasa biasa saja ketika teman-teman suka memegang rambutku dan mempermainkannya, tapi sekarang tidak.  Aku mulai risih dan tidak bebas jika ada teman lelaki memperhatikanku, wah gede rasa nich !. 

            Seorang teman lelaki di kelasku sering kali curi curi pandang menatapku. “ Ahh, mengapa dia selalu menatapku begitu, jadi salting aku “, perasaanku mulai gundah. Suatu hari kuberanikan diri mendekatinya, “ Hei .... kenapa to, kamu suka menatapku begitu, aku jadi risih dan nggak enak sama teman-teman “. Yang ditanya hanya senyum-senyum saja jawabnya : “ nggak apa apa kog Lest, gigimu putih dan rambutmu yang hitam panjang , enak dilihat “.  Aku membalikkan badan pergi dan menyembunyikan pipiku yang memerah. Hari berikutnya kubiarkan saja dia , aku jadi sungkan mengajaknya bicara. Ngobrol dengan Heri lebih enak, seperti saudara sendiri dan tanpa menyimpan perasaan apapun.  “ Lest, nanti pulang sekolah aku ke rumahmu ya, kerjakan PR Fisika Pak Widodo “, iyo Her, jawabku.

            Berjalannya waktu pergaulan dengan teman-teman kurasakan berbeda, ada suatu rasa yang membuat tidak bebas dan tidak nyaman. Kegalauan kadang muncul mengganggu belajarku, “ Uhh, ada apa denganku “.  Bayangan seseorang kadang muncul di benakku, semakin ku tepis , semakin sering datang menggangguku. “ Mengapa aku harus memikirkannya , sedangkan dia biasa-biasa saja “, kalimat yang sering muncul di hatiku. Apakah ini yang namanya “ cinta kethek” ha ha ha, aku tidak tahu.  Rasa ini memang aneh, 

membuat hati tidak nyaman berkecamuk  seperti nyamuk. “ Uhh, rasa ini sudah menjeratku”.  Akhirnya kupendam saja rasa itu sampai tamatlah riwayatku di sekolah ini.




Nah, teman-teman ayo jangan mengantuk. Itu tadi sedikit kisahku. Episode selanjutnya dari kisah tadi ... terkena aturan badan sensor “ Gita Cinta dari SMP “ ha ha ha.

Sekarang , mana kisahmu ... ayo dong , aku juga mau dengar lho... terimakasih.



Teman-teman, saat ini aku tinggal dan sudah menetap di Solo, kembali ke tanah leluhurku. Aku bekerja sebagai seorang guru Fisika di sekolah swasta : SMA Regina Pacis . 

Kalau dulu aku takut pelajaran fisika bersama Pak Widodo, sekarang aku ingin murid – muridku senang belajar Fisika bersama Ibu Lestari. Hm, mungkin ada yang bertanya mengapa aku mau menjadi guru.  Pekerjaan yang berat , tuntutan yang berat , harus mencerdaskan kehidupan bangsa,  gaji pas pasan ,sering lembur sampai malam untuk persiapan hari esok. Tapi teman-teman , dibalik itu semua ternyata ada banyak berkat yang diterima.  Percaya atau tidak , tergantung masing-masing pribadi dalam menghayatinya.
Teman-teman, sekedar berbagi pengalaman , kutulis sepenggal kisah yang kualami dan menginspirasiku hingga  bertahan sampai saat ini. Silahkan baca ....

BUAH KETULUSAN

Saya adalah seorang guru SMA di  sebuah sekolah swasta favorit di kota Solo. Saat ini sudah 21 tahun saya bertahan untuk tetap menjadi seorang guru. Sebuah pengalaman menarik yang tak akan pernah kulupakan dan memberiku inspirasi sampai saat ini. Pada tahun 1994, ketika itu saya masih tercatat sebagai guru muda yang belum memiliki banyak pengalaman dalam dunia pendidikan.  Saat itu sekolah kami menerima seorang siswi yang memiliki kekurangan dalam hal pendengaran dan wicara , boleh dikatakan hampir tuna rungu , bicarapun sangat tidak jelas, sebut saja namanya Sinta . Dalam komunikasi ia dibantu alat pendengaran dan bahasa isyarat.  Karena kelemahan inilah maka ia minta dijuruskan di kelas IPA. Dalam hal kemampuan berpikir, ia termasuk anak yang pandai. Saya sangat salut dengan keberanian dan perjuangannya untuk menuntut ilmu bersama anak-anak lain yang normal. Gambaran seorang anak tahan uji, ia ingin menjadikan dirinya berguna dan  bermakna dalam kehidupannya sehingga iapun bertahan sampai lulus.
Suatu hari saya diminta menemui kepala sekolah, dalam pembicaraan yang  cukup singkat beliau meminta saya untuk membimbing belajar Sinta khususnya diluar jam sekolah. Saya sempat terdiam berpikir sejenak, ada dua hal yang muncul di pikiran, pertama menurut peraturan , guru tidak diperbolehkan memberi privat siswa sendiri dan yang kedua dengan cara apa saya harus membantu dia, sedangkan komunikasi saja tidak lancar. Agaknya kepala sekolah tahu yang saya pikirkan, lalu katanya : “Saya mengijinkan ibu untuk memberinya privat , cobalah bu, saya percaya ibu bisa melakukannya, karena Sinta dan orangtuanya telah memilih ibu.” Akhirnya saya bersedia dan keluar dari ruang kepala sekolah dengan berbagai perasaan berkecamuk di hati.
            Pada awalnya pertemuan tampak kaku, kami lebih sering berkomunikasi lewat tulisan atau gambar di atas kertas. Materi pelajaran fisika yang saya ajarkan menjadi semakin sulit , pembelajaran berjalan lambat dan Sinta pulang dengan membawa sedikit pengetahuan saja. Malam itu sambil beristirahat, saya berpikir untuk mencari cara agar pembelajaran berjalan lancar. Dalam doapun saya mohon agar diberi tuntunan. Hari berikutnya Sinta datang katanya :”Hoe whu.” Jawabku kepadanya: “Sore Sinta, ayo duduklah.” Sinta mulai mengeluarkan buku dan alat tulis dari dalam tasnya. Saya mencuri kesempatan untuk memperhatikan wajah anak itu, dalam hati muncul kekagumanku: “ Sungguh luar biasa anak ini, ia tidak minder bahkan selalu bersemangat.”  Kami mulai lagi terlibat percakapan dengan bahasa isyarat dan ucapan yang tidak jelas. Menghadapi situasi semacam itu, kesabaran dan ketekunanku dalam membimbing Sinta sungguh diuji . Suatu keyakinan terbersit dihatiku : “Barangsiapa berbuat baik dengan ikhlas, akan mendapat berkat .” Tuhan juga mengajarkan kepada  kita untuk mengasihi orang lain tanpa membedakan, demikian seperti yang tertulis dalam Yohanes 17 : Inilah perintahKu kepadamu : Kasihilah seorang akan yang lain.  Demikian pula  dalam 1 Korintus 13:4 tertulis: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” Ayat-ayat itu dapat menjadi pegangan didalam pelayananku menjadi seorang guru.  Kasih itu pula yang membuat saya bertahan membimbing Sinta. Hari demi hari kami lalui bersama dan saya melihat banyak perkembangan terjadi, ia semakin lancar berkomunikasi walaupun tidak jelas, sesekali ia cerita tentang keluarganya. Sinta mulai merasa nyaman, saya bisa melihat dari senyumnya.  Sinta bisa menerima pelajaran yang saya berikan, iapun berani menjelaskan suatu konsep atau latihan soal walau dengan terbata-bata. Melihat semuanya itu, hati saya merasa sangat senang dan bersyukur pada Tuhan. Setiap pertemuan privat dapat berjalan lancar, bukan saja membicarakan materi pelajaran tetapi hal-hal lain tentang kehidupan. Sharing pengalaman dimasa kecil terkadang menjadi selingan pengusir kejenuhan atau acara televisi juga menjadi obrolan tersendiri yang membuat dia tertawa. Tanpa sadar saya menjadi terbiasa menggunakan bahasa isyarat dan mengucapkan sesuatu dengan pelan sambil memperhatikan gerak bibir. Demikian seterusnya privat itu berlangsung sampai ia menyelesaikan studinya.
Lama berselang setelah bertahun-tahun tidak lagi berhubungan dengan Sinta, kisah itu menjadi kenangan dalam hidup saya. Kisah bersama Sinta menjadi pengalaman hidup yang  mendalam. Tuhan memberikan pelajaran berharga untuk mengawali perjalanan saya menjadi seorang guru. Tuhan menunjukkan bahwa menjadi guru bukan pengetahuan saja yang dibutuhkan melainkan hati yang bisa memberikan cinta. Hingga kini pengalaman itu tak pernah saya lupakan. Terkadang saat berhadapan dengan siswa, kisah itu saya sharingkan kembali untuk menggugah semangat, memotivasi agar seseorang tidak mudah jatuh dalam keputusasaan. Kisah inipun menginspirasi saya untuk mengajar dan mendidik dengan hati. Banyak peristiwa setelah itu saya alami yang menuntut hati bicara dan menguji pengorbanan diri. Dalam hati sering bertanya : “ Mengapa Tuhan menempatkan saya untuk berhubungan dengan anak-anak yang butuh perhatian lebih ?” Saya yakin, suatu hari pasti ada jawabnya.
 Suatu hari belum lama ini, ketika berjalan-jalan di sebuah mall, saya terkejut dengan tepukan di bahu , saya menoleh saat seorang wanita menyebut namaku: “ Bhu Leshayi .” Maksudnya Bu Lestari. Saya terpana dan menatap tajam wanita itu, dengan intonasi agak tinggi jawabku: “ Sinta.” Kami berpelukan seolah melepas kerinduan yang sekian lama terpendam. Sambil menahan air mata, kataku : “Bagaimana kabarmu, Sinta?” Jawabnya:“ Bhaik Bhu, nih zhuami dan hanakku.” Sinta memperkenalkan suami dan kedua anaknya padaku. Sejenak kami terlibat percakapan yang menggembirakan. Sesekali saya melihat orang-orang di sekitar yang memandang kami dengan heran. Sungguh saya bahagia dan bersyukur saat itu, betapa luar biasanya Tuhan. Lagi-lagi Tuhan menunjukkan cintaNya melalui Sinta, Dia karuniai Sinta seorang suami yang normal secara fisik, seorang anak laki-laki yang tampan dan gadis kecil yang cantik. Setelah beberapa waktu, merekapun pamit. Kami berpelukan kembali, kuciumi juga kedua anaknya dan merekapun pergi ditelan kerumunan pengunjung mall. Sambil berjalan saya berdoa dalam hati : “ Terimakasih ya Tuhan, Kau ijinkan aku ambil bagian dalam kehidupannya. Sertailah mereka selalu dalam suka maupun duka, amin.” Sejak pertemuan yang tak terduga itu, saya semakin diteguhkan dalam pelayanan menjadi seorang guru, profesi yang ternyata tidak mudah bagi kebanyakan orang bila sungguh-sungguh dihayati. Saya pun percaya bahwa mendidik dengan hati, berbuah kebaikan.
Pesan bijak untuk pembaca :“Sinarkan Cinta dan kau dapatkan Cinta.”
 
Teman- teman , cerita itu kutulis untuk mengikuti  sebuah lomba menulis cerpen tingkat nasional. Walaupun tidak menduduki juara, tetapi termasuk kategori cerpen pilihan dan masuk dalam bagian sebuah buku. Maklum saya bukan seorang penulis , hanya hobby menulis.
Masih banyak cerita indah  kualami selama menjadi guru yang tidak dapat kuuraikan satu persatu di lembar ini. Hanya satu yang kumau , membahagiakan murid muridku.

Sinarkan Cinta dan kau dapatkan Cinta ”



Semoga profesiku saai ini dan karya – karyaku dapat menjadi persembahan indah bagi bapak ibu guru dan almamater SMP N 1 Condong Catur.  Terimakasih. Tuhan Memberkati.

12 komentar:

  1. Critamu detail Les, sangat sedikit ingatanku tentang masa SMP dulu. Siip

    BalasHapus
  2. Aku sudah nenyinarkan, maka aku yakin akan mendapatkan.
    Yang menaburlah yang akan menuai.
    You reap what you sow.
    #TKT

    BalasHapus
  3. terinspirasi.. golden memories.... kuat ingatannya.. mbiyen jurusan IPS sma ne.. heheheh argo

    BalasHapus
  4. ternyata guru Fisika... salah dech... ampunnn..

    BalasHapus
  5. Sepertinya ..... ,, Aku kembali d tahun 80 an.

    BalasHapus
  6. Sepertinya ..... ,, Aku kembali d tahun 80 an.

    BalasHapus
  7. jadi inget gadis kecil berkepang dua...

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Si gadiss cantik yg satu ini bener bener lihai merangkai kata ..
    .Tari gadis tan 403 ayo tunjukan lg bakatmu kami menunggu.

    BalasHapus
  10. Teman-teman terimakasih komentnya. Aku tambah termotivasi dan semangat.

    BalasHapus

Halan-Halan Healing Horeg Heboh [5H]

Daripada, daripada.. mendingan jalan-jalan ngudoroso menikmati keindahan ciptaan Tuhan. 11 Agustis 2024, bersama teman-teman ke Magelang.  s...